Translate

Jumat, 02 Oktober 2020

Beberapa Ragam Tafsir dari Qur'an Suci surah Āli-‘Imran/Keluarga Imran (3) ayat 64

Al-Qur'an, Surah Āli-‘Imran/Keluarga Imran/3:64


قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ تَعَالَوۡا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَيۡئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا أَرۡبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ فَإِن تَوَلَّوۡا۟ فَقُولُوا۟ ٱشۡهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ 



BAHASA INDONESIA


Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”



TAFSIR JALALAYN


(Katakanlah, "Hai Ahli Kitab!) yakni Yahudi dan Nasrani (Marilah kita menuju suatu kalimat yang sama) mashdar dengan makna sifat; artinya yang serupa (di antara kami dan kamu) yakni (bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun juga dan bahwa sebagian kita tidak mengambil lainnya sebagai Tuhan selain daripada Allah) sebagaimana halnya kamu mengambil para rahib dan pendeta. (Jika mereka berpaling) jika menyeleweng dari ketauhidan (maka katakanlah olehmu) kepada mereka ('Saksikanlah bahwa kami ini beragama Islam.'") yang bertauhid.


Ayat berikut diturunkan ketika orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Ibrahim itu seorang Yahudi dan kita adalah penganut agamanya demikian pula orang-orang Nasrani mengklaim seperti itu.



TAFSIR KEMENAG RI


(64) Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad, agar mengajak Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani untuk berdialog secara adil dalam mencari asas-asas persamaan dari ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Kemudian Allah menjelaskan maksud ajakan itu yaitu agar mereka tidak menyembah selain Allah yang mempunyai kekuasaan yang mutlak, yang berhak menciptakan syariat dan berhak menghalalkan dan mengharamkan, serta tidak mempersekutukan-Nya.


Ayat ini mengandung: Tauhid Uluhiyah bagi Allah, yaitu keesaan Allah seperti tersebut dalam firman-Nya: ¦ bahwa kita tidak menyembah selain Allah ¦ (Ali 'Imran/3: 64). Sifat Tauhid Rububiyah dalam firman-Nya yaitu keesaan dalam mengatur makhluk-Nya: ¦dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. ¦. (Ali 'Imran/3: 64)


Ketentuan ini disepakati oleh semua orang, dan dapat dibuktikan, Ibrahim a.s. diutus Allah untuk membawa agama tauhid, begitu juga Nabi Musa seperti terdapat dalam kitab Taurat; Allah berfirman kepada Nabi Musa, "Sesungguhnya Tuhan adalah sembahanmu, kamu tidak mempunyai sesembahan lain di sisi Ku, jangan kamu membuat pahatan patung, dan jangan membuat gambaran apa pun juga dari apa saja yang terdapat di langit dan di bumi, maupun yang terdapat di dalam air. Jangan kamu bersujud kepada patung-patung dan gambar-gambar serta jangan menghambakan diri kepadanya. Demikian juga Nabi Isa diutus Allah dengan membawa ajaran seperti itu. Kemudian Nabi Muhammad saw sebagai Nabi penutup, beliau diutus dengan membawa ajaran yang sama.


Di dalam Al-Qur'an terdapat firman Allah: Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur¦(al-Baqarah/2: 255). Kesimpulan dari ajakan tersebut ialah: Muslimin dan Ahli Kitab sama-sama meyakini bahwa alam itu termasuk ciptaan Allah Yang Maha Esa. Dialah yang menciptakan dan mengurusnya dan Dialah yang mengutus para nabi kepada mereka, untuk menyampaikan keterangan-keterangan tentang perbuatan yang diridai dan yang tidak diridai-Nya. Kemudian Nabi Muhammad mengajak Ahli Kitab agar bersepakat untuk menegakkan prinsip-prinsip agama, menolak hal yang meragukan, yang bertentangan dengan prinsip agama. Maka apabila orang Nasrani mendapatkan keterangan dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa seperti kata-kata "Putra Tuhan" hendaklah ditakwilkan dengan takwilan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disepakati oleh para nabi, karena kita semua tidak akan mendapatkan di antara perkataan para nabi yang bisa diartikan bahwa sesungguhnya Nabi Isa itu tuhan yang disembah. Kita juga tidak akan mendapatkan keterangan yang mengatakan bahwa Isa a.s. mengajak manusia untuk menyembah dirinya dan ibunya, melainkan Nabi Isa mengajak manusia untuk menyembah Allah Yang Esa dan dengan ikhlas beribadah kepada-Nya.


Pada mulanya, orang Yahudi beragama tauhid, kemudian terjadilah malapetaka bagi mereka, yaitu waktu mereka mengakui hukum apa saja yang ditetapkan pemimpin agama adalah sama kedudukannya dengan hukum yang datang dari Allah. Demikian juga orang-orang Nasrani menempuh jalan seperti orang-orang Yahudi. Mereka menambahkan peleburan dosa dalam agamanya. Inilah yang menjadi problematik yang sangat membahayakan dalam masyarakat orang-orang Nasrani sehingga timbul penjualan surat aflat (surat penebusan dosa) dari gereja. Dengan jalan itu mereka dapat mengumpulkan uang yang banyak. Oleh sebab itu timbullah gerakan yang menuntut perbaikan. Kelompok ini terkenal dengan istilah Protestan.


Diriwayatkan dari 'Adi bin Hatim bahwa ia berkata, "Saya datang kepada Rasulullah saw, sedangkan di leherku terdapat kalung salib yang terbuat dari emas. Kemudian Rasulullah bersabda, "Hai 'Adi, buanglah berhala itu dari lehermu". Saya pun mendengar Nabi Muhammad membaca surah at-Taubah: Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, ¦. (at-Taubah/9: 31). Kemudian 'Adi berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, mereka itu tidak menyembah pendeta-pendeta". Kemudian Rasulullah bersabda, "Bukankah mereka menghalalkan dan mengharamkan bagi kamu lalu kamu berpegang saja pada perkataan mereka?" Kemudian 'Adi menjawab, "Betul". Lalu Nabi Muhammad bersabda, "Itu penyembahan terhadap pendeta-pendeta itu." Orang Yahudi dan orang Nasrani menolak dan membangkang; dan mereka tetap pada pendiriannya, yaitu menyembah selain Allah dan mempercayai adanya tuhan-tuhan di samping Allah, yang dijadikan perantara kepada Allah. Mereka taat pada ketentuan-ketentuan mereka, baik mengenai yang dihalalkan maupun yang diharamkan oleh pendeta-pendeta itu. Allah swt memerintahkan agar orang-orang Muslim mengatakan kepada mereka bahwa, kaum Muslimin hanya menyembah Allah dan hanya taat kepada-Nya semata-mata.


Dalam ayat ini terdapat sebuah ketentuan bahwa semua masalah yang berhubungan dengan ibadah atau dengan halal dan haram, hanya ada di dalam Al-Qur'an dan Hadis, yang dijadikan pokok pegangan dalam menetapkannya, bukan pendeta pemimpin dan bukan pula pendapat ahli hukum yang kenamaan sekalipun. Sebab kalau demikian, tentulah hal itu akan menyebabkan adanya persekutuan dalam keesaan rububiyah dan penyimpangan dari petunjuk Al-Qur'an seperti tersebut dalam firman Allah: Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih. (asy-Syura/42: 21) Tersebut pula dalam firman Allah: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram," ¦ (an-Nahl/16: 116). Adapun masalah yang tidak berkaitan langsung dengan akhirat dan ibadah, seperti urusan peradilan, dan urusan politik, Allah telah melimpahkan kekuasaan-Nya kepada manusia yang berilmu, seperti Ahlul Halli wal 'Aqdi, yaitu para ahli berbagai bidang dalam masyarakat. Maka apa yang ditetapkan mereka hendaklah ditaati selama tidak bertentangan dengan pokok-pokok agama.


Ayat ini menjadi dasar dan pokok pegangan bagi dakwah Nabi saw. untuk mengajak Ahli Kitab mempraktekkannya. Pada waktu Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam, seperti terdapat dalam surat beliau yang ditujukan kepada Heraklius dan Muqauqis dan Kisra Persia.



TAFSIR IBN KATSIR


Khitab (perintah) ini bersifat umum mencakup semua Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sealiran dengan mereka.


Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat."


Definisi kalimat ialah sebuah jumlah (kalimat) yang memberikan suatu faedah (pengertian). Demikian pula yang dimaksud dengan kalimat dalam ayat ini. Kemudian kalimat tersebut diperjelas pengertiannya oleh firman selanjutnya, yaitu: 


...yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian.


Yakni kalimat yang adil, pertengahan, dan tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian mengenainya. Kemudian diperjelas lagi oleh firman selanjutnya: 


...bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun.


Yaitu baik dengan berhala, salib, wasan, tagut, api atau sesuatu yang selain-Nya, melainkan kita Esakan Allah dengan menyembah-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Hal ini merupakan seruan yang dilakukan oleh semua rasul. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami mewahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku." (Al Anbiyaa:25)


Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.” (An Nahl:36)


Adapun firman Allah Swt.:


...dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah.


Ibnu Juraij mengatakan, makna yang dimaksud ialah sebagian kita menaati sebagian yang lain dalam bermaksiat kepada Allah Swt. Sedangkan menurut Ikrimah, makna yang dimaksud ialah sebagian kita bersujud kepada sebagian yang lain.


Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)."


Yakni jika mereka berpaling dari keadilan ini dan seruan ini, hendaklah mereka mempersaksikan kalian bahwa kalian tetap berada dalam agama Islam yang telah disyariatkan oleh Allah untuk kalian.


Kami menyebutkan di dalam syarah Bukhari pada riwayatnya yang ia ketengahkan melalui jalur Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, dari Abu Sufyan tentang kisahnya ketika masuk menemui kaisar, lalu kaisar menanyakan kepadanya tentang nasab Rasulullah Saw., sifat-sifatnya, dan sepak terjangnya, serta apa yang diserukan olehnya. Lalu Abu Sufyan menceritakan hal tersebut secara keseluruhan dengan jelas dan apa adanya. Padahal ketika itu Abu Sufyan masih musyrik dan belum masuk Islam, hal ini terjadi sesudah adanya Perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum penaklukan kota Mekah, seperti yang dijelaskan oleh hadis yang dimaksud. Juga ketika ditanyakan kepadanya, apakah Nabi Saw. pernah berbuat khianat? Maka Abu Sufyan menjawab, "Tidak. Dan kami berpisah dengannya selama suatu masa, dalam masa itu kami tidak mengetahui apa yang dilakukannya." Kemudian Abu Sufyan mengatakan, "Aku tidak dapat menambahkan suatu berita pun selain dari itu."


Tujuan utama dari pengetengahan kisah ini ialah bahwa surat Rasulullah Saw. disampaikan kepada kaisar yang isinya adalah seperti berikut:


Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasulullah, ditujukan kepada Heraklius, pembesar kerajaan Romawi, semoga keselamatan terlimpah kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma Ba'du: Maka masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat, dan masuk Islamlah, niscaya Allah akan memberimu pahala dua kali. Tetapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau menanggung dosa kaum arisin (para petani). Dan di dalamnya disebutkan pula firman-Nya:


Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)."


Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang saja telah menyebutkan bahwa permulaan surat Ali Imran sampai dengan ayat delapan puluh lebih sedikit diturunkan berkenaan dengan delegasi Najran.


Az-Zuhri mengatakan bahwa mereka adalah orang yang mula-mula membayar jizyah.


Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ayat jizyah ini, bahwa ia diturunkan sesudah penaklukan kota Mekah. Maka timbul pertanyaan, bagaimanakah dapat digabungkan antara peristiwa penulisan ayat ini —yang terjadi sebelum peristiwa kemenangan atas kota Mekah dalam surat yang ditujukan kepada Heraklius, sebagai bagian dari surat tersebut— dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq dan Az-Zuhri?


Sebagai jawabannya dapat dikemukakan alasan-alasan berikut, yaitu:


Pertama. Dapat dihipotesiskan bahwa adakalanya ayat ini diturunkan dua kali, sekali sebelum Perjanjian Hudaibiyyah, dan yang lainnya sesudah peristiwa kemenangan atas kota Mekah.


Kedua. Adakalanya permulaan surat Ali Imran diturunkan berkenaan dengan delegasi Najran sampai dengan ayat ini, yang berarti ayat ini diturunkan sebelum peristiwa itu. Dengan demikian, berarti pendapat Ibnu Ishaq yang mengatakan sampai ayat delapan puluh lebih beberapa ayat kurang dihafal, mengingat pengertian yang ditunjukkan oleh hadis Abu Sufyan di atas tadi.


Ketiga. Adakalanya kedatangan delegasi Najran terjadi sebelum Perjanjian Hudaibiyyah, dan orang-orang yang memberikan bayaran kepada Nabi Saw. sebagai ganti dari mubahalah bukan dianggap sebagai jizyah, melainkan sebagari gencatan senjata dan perdamaian. Sesudah itu turunlah ayat mengenai jizyah yang sesuai dengan peristiwa tersebut. Perihalnya sama dengan peristiwa difardukannya seper-lima dan empat perlima yang bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap sariyyah (pasukan) yang bersangkutan sebelum Perang Badar. Kemudian diturunkanlah hukum fardu pembagian ganimah yang sesuai dengan kebijakan tersebut.


Keempat. Adakalanya ketika Rasulullah Saw. Memerintahkan untuk menulis surat tersebut kepada Herakklius, ayat Itu masih belum diturunkan. Sesudah itu baru Al-Qur'an mengenai masalah ini diturunkan bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Sebagaimana diturunkan ayat mengenai hijab dan tawanan perang yang isinya bersesuaian dengan kebijakan yang diputuskan oleh Umar ibnul Khattab, begitu pula ayat yang melarang menyalatkan jenazah orang-orang munafik. Juga dalam firman-Nya:


Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al Baqarah:125)


Peristiwa yang menyangkut firman-Nya:


Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian. (At Tahriim:5), hingga akhir ayat.


Dapatkan Aplikasi Quran:bit.ly/AlQuranApp #GreentechApps



TAFSIR AL-MISHBAH, M. QURAISH SHIHAB


Katakan, wahai Nabi, "Hai Ahl al-Kitâb, mari kita berpegang kepada kalimah sawâ' (titik temu) yang selalu kita ingat bersama-sama. Yaitu, bahwa masing-masing kita hanya menyembah kepada Allah, tidak mengakui adanya sekutu bagi-Nya, dan tidak tunduk dan taat kepada pihak lain demi menghalalkan atau mengharamkan sesuatu dengan meninggalkan hukum Allah yang telah ditetapkan." Kalau mereka menolak ajakanmu yang benar itu, katakan kepada mereka, "Persaksikanlah bahwa kami patuh dan tunduk kepada hukum dan ketentuan Allah. Kami tidak berdoa selain kepada-Nya."


http://www.muslimpro.com/quran/3/64



TAFSIR, MAULANA MUHAMMAD 'ALI, AHMADIYYA ANJUMAN ISHA'AT-E-ISLAM


[446] Inilah kata-kata yang dicantumkan dalam surat Nabi Suci kepada Raja Heraklius pada tahun 6 Hijriah (B. 1:1). Surat serupa itu dikirimkan pula kepada para raja, antara lain kepada Raja Muqauqis di Mesir; dan ditemukannya surat Nabi Suci yang dikirimkan kepada Raja Mesir, membuktikan sahihnya hadits Nabi Suci seumumnya, karena naskah surat itu berisi kata-kata yang sama seperti yang disebutkan dalam hadits.


Ayat ini berisi seruan kepada kaum Yahudi dan kaum Nasrani agar mereka menerima ajaran agama Ibrahim yang luas, yang dijadikan pula sebagai dasarnya agama Islam. Kalimat sebagian kita tak akan mengambil sebagian yang lain sebagai tuhan, dalam praktek, hal ini merajalela di kalangan kaum Yahudi dan kaum Nasrani, demikian pula di kalangan kaum Muslimin zaman sekarang, yaitu menjadikan ulama mereka sebagai orang yang mempunyai kekuasaan Tuhan, sebagaimana dinyatakan seterang-terangnya dalam 9:31: “Mereka mengambil ulama mereka dan pendeta mereka sebagai tuhan selain Allah.” Ayat yang sedang dibahas ini meletakkan landasan studi tentang perbandingan agama. Siapa saja yang mempelajari kitab agama-agama dalam skala luas, pasti akan menemukan, bahwa ajaran pokok agama Islam adalah ukuran kebenaran yang paling tinggi yang terkandung di dalam berbagai agama dunia. Misalnya ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa seperti diajarkan oleh Islam dapat digambarkan, bahwa semua agama yang besar-besar, pasti berpangkal pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ini merupakan landasan umum bagi semua agama, tetapi kemudian masing-masing agama mempunyai hal yang aneh-aneh, ini tak dikenal oleh sekalian agama lain.


Islam sendiri bersih dari tambahan-tambahan tersebut pada ajaran pokoknya, bahkan Islam mengajarkan Keesaan Ilahi dengan bentuk yang paling sederhana, dan menolak segala macam tambahan, yang di sini dibagi menjadi tiga klasifikasi:

(1) Menyembah dan bermohon kepada tuhan selain Allah,

(2) Menyekutukan sesuatu dengan Allah, artinya menganggap makhluk-makhluk lain mempunyai sifat-sifat Allah,

(3) Menjadikan makhluk lain sebagai lain sebagai tuhan selain Allah, yaitu tunduk kepada makhluk lain dengan penuh ketaatan, yang ketaatan ini seharusnya kepada Allah semata. Berhala, dewa, penjelmaan Tuhan, anak Tuhan, kyai ataupun pendeta, semuanya tak boleh disembah dan tak boleh diikuti dengan membabi-buta.


https://aaiil.org/indonesia/holyquran/indonesianholyquransuci.shtml



TAFSIR, KHALIFATUL MASIH II (HADHRAT MIRZA BASYIRUDDIN MAHMUD AHMAD), JAMAAH MUSLIM AHMADIYAH


[426A] Ayat ini dengan keliru dianggap oleh sementara orang seakan-akan memberikan dasar untuk mencapai suatu kompromi antara Islam di satu pihak dan Kristen serta agama Yahudi di lain pihak. Dikemukakan sebagai alasan bahwa bila agama-agama tersebut pun mengajarkan dan menanamkan Keesaan Tuhan, maka ajaran Islam lainnya yang dianggap menduduki tempat kedua dalam kepentingannya, sebaiknya ditinggalkan saja. Sukarlah dimengerti jika muncul pemahaman bahwa (di dalam Al-Qur’an) ada anjuran untuk berkompromi dalam urusan agama dengan kaum yang sebelum ini dikutuk dengan sangat keras atas kepalsuan kepercayaan mereka dan ditantang dengan sungguh-sungguh untuk bermubahalah.


Rasulullah saw. dalam menulis surat dakwah kepada Heraklius memakai ayat ini pula, malahan mendesak Heraklius supaya menerima Islam dan mengancamnya dengan ancaman azab Ilahi, bila ia menolak berbuat demikian (Bukhārī). Hal itu tak ayal lagi menunjukkan bahwa menurut Rasulullah Saw kepercayaannya terhadap Keesaan Tuhan semata, tidak dapat menyelamatkan Heraklius dari azab Ilahi.


Memang, ayat ini dimaksudkan untuk menyarankan satu cara yang mudah dan sederhana yang dengan itu orang-orang Yahudi dan Kristen dapat sampai kepada keputusan yang tepat mengenai kebenaran Islam. Kaum Kristen, kendatipun mengaku beriman kepada Tauhid Ilahi, percaya pula kepada ketuhanan Isa; dan orang-orang Yahudi, sungguhpun mengaku berpegang kuat kepada Tauhid, mereka mengikuti dengan membuta rahib-rahib dan ulama-ulama mereka, dan dengan demikian seolah-olah menempatkan mereka dalam kedudukan yang sama dengan Tuhan sendiri. Ayat ini menyuruh kedua golongan itu kembali kepada kepercayaan asal mereka, yakni Tauhid Ilahi, dan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan palsu yang menjadi perintang bagi mereka untuk masuk Islam. Jadi, daripada mencari kompromi dengan agama-agama itu, ayat ini sesungguhnya mengajak para pengikut agama itu untuk menerima Islam dengan menarik perhatian mereka kepada Tauhid yang sedikitnya dalam bentuk lahir, merupakan itikad pokok yang sama pada agama-agama tersebut, dapat berlaku sebagai satu dasar titik-temu untuk penyelidikan lebih lanjut. 


Secara sambil lalu, perlu diperhatikan disini bahwa surat yang disebut oleh Bukhārī dan ahli-ahli hadis lainnya, dialamatkan oleh Rasulullah Saw kepada Heraclius dan beberapa kepala pemerintahan lain – Muqauqis, raja muda Mesir itu satu dari antara mereka – disusun dengan kata-kata dari ayat ini dan mengajak mereka untuk menerima Islam, akhir-akhir ini telah ditemukan dan ternyata mengandung kata-kata yang persis dikutip oleh Bukhārī (R. Rel. jilid V, no. 8). Hal itu mengandung bukti kuat tentang keotentikan Bukhārī dan pula kitab-kitab hadis lainnya yang telah diakui.


https://play.google.com/store/apps/details?id=id.ahmadiyah.quran